Friday, October 06, 2006

Sepuluh Tahun

Sepuluh tahun lalu, dia perlu kebenaran
sepuluh tahun ini, dia ingin. Dia ingin
seperti ingin makan kue atau minum bir tengah hari
tidak begitu perlu. Sepanjang musim panas
pohon pun menunggu sabar sampai hujan turun.
Kali ini, mati datang seperti tamu
yang tak ditunggu. Dokter memompanya keluar
dari garis lurus hijau. Beberapa menit yang lalu di kasur itu
istrinya menaruh tangan di depan hidungnya, mana napasnya?
Kata mereka setiap tiga detik
seorang miskin mati. Satu. Dua.
Bayangkan sekampung mulai menghitung, satu, dua, gampang ya
terus saja. Dunia akan jalan terus juga dan ya
Ini memang sudah ada aturannya. Dokter
sudah melaksanakan kewajibannya;
istri sudah memesan keranda;
waktu kelas lima, kelasnya belajar
tentang mati, betapa lazimnya; di surga
dia seorang filsuf dengan definisi kejam tentang kebenaran
Pohon adalah pohon, tua dan menua.
Sampai hujan turun dan halilintar membelahnya jadi dua.
Anak perhutanan datang dan pulang membawa
contoh dan mulai menghitung cincin tahun
Setiap kali ini terjadi, seseorang pasti kebagian tugas
mencatat: mati karena,
ongkos keranda, setiap tiga detik.
Kadang dunia jadi ramah
semua orang ingin terlibat. “Beliau orang baik,” kata pastur di kuburan
Dia sendiri orang baik di hari kematiannya
Begitu banyak orang baik mati, begitu banyak istri setia
ditinggal mati, dan sebaliknya. Mereka menghitung ada tiga
ratus lima puluh dua cincin, setiap cincin ombak
yang membeku begitu sempurna.
Istri itu mati. Suami itu mati lagi.
Dokter sudah putus asa
cuci tangan dengan sabun hijau
Otot kaku beberapa menit setelah mati.
Satu, dua, tiga, udara bergetar
meregang.

John de Borja, 2005. Penyair kontemporer Filipina. Teks Inggris disalin oleh Grace Perdiguerra. Maraming salamat!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home