Friday, September 28, 2007

Aku Berhenti Sebentar Membaca Antologi Sajak Tiongkok Dinasti Sung, Hanya Buat Mengagumi Betapa Panjang Tapi Tetap Jernih Judul-judulnya

Kelihatannya penyair-penyair ini tidak menyembunyikan apa-apa
di balik lengan baju mereka yang menggantung kedodoran
mereka membuka semua kartu mereka dari awal,
memberi tahu kita bahkan sebelum baris yang pertama,
apakah hari ini cerah atau sedang hujan,
malam atau siang, musim apa sekarang,
berapa guci anggur sudah mereka minum.

Mungkin saat ini musim gugur dan dia sedang menonton seekor burung gereja.
Mungkin dia sedang berdiri di sebuah kota dengan nama yang indah dan salju mulai turun.

"Memandang Bunga Peoni di Klenteng Mujur
di Satu Siang Berawan", itu judul salah satu sajak Su T'ung-po.
"Mengambil Air dari Sungai dan Merebus Teh",
satu lagi, atau singkat saja
"Di dalam Perahu, Mata Terbuka, Hari Sudah Malam."

Dan Lu Yu-lah yang pantas dapat kue tar untuk
"Di atas Perahu di Suatu Malam di Musim Panas
Aku Mendengar Jeritan Burung Air.
Kedengarannya Sedih Sekali dan Kelihatannya Seperti Ingin Memberi Tahu
Istriku Kejam-Aku Sangat Tersentuh, Karena Itu Kutulis Sajak Ini."

Tidak perlu lagi harus membuka dulu pagar besi berat
seperti "Vortex dalam Benang,"
"Tanduk Neurosis," atau apalah.
Tidak perlu lagi menerka-nerka apa arti pesan misterius
yang tertulis di keset di depan pintu.

"Aku Keluar Rumah di Suatu Pagi Musim Semi
Diiringi Suara Burung dan Air Terjun,"
rasanya seperti horden kulit kerang yang membelai bahuku.

Dan "Hujan Musim Semi Selama Sepuluh Hari Memaksaku Tinggal di Rumah Terus"
adalah pembantu yang mengantarku ke sebuah kamar
di mana seorang penyair berjenggot tipis
sedang duduk di tikar dengan seguci anggur di sampingnya
membisikkan sesuatu tentang awan dan angin yang dingin,
tentang penyakit dan ditinggal mati sahabat.

Dia telah membuat semuanya jadi gampang, supaya aku bisa masuk ke sini,
duduk di sudut kamar,
bersila seperti dia, dan mendengarkannya bicara.

Billy Collins, Poetry, Juni 1999.